Latar Belakang Konflik Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang
ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah
beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso.
Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun
kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan
golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di
Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah
yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku
pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan
sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan
daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang
Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap
di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua
adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan
yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi
Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk
wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso
tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk
kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok
pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi
menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran,
Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi
Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain
itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama
di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu
pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu
kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang
berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan
bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi
pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu
tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng
aling-aling pada
setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar
persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua
pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada
perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan
keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah
kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik
Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya
Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan
Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo
(seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga
mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang
Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi
akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda
Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda
Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa
Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat
keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa
1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan
runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang
sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali
meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal
kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama
setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000.
konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli
2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk
dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas
wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat
mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di
Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota
keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota
diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar
Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan
kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana,
kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika
kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan
jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian
senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api.
Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena
sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain
itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6
korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah
pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda
Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik
kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi
mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998
dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, [3] sebab
konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok
lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras
bersama.
Mulai Mei-Juni 2000
dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah
mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya
menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa
pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan.
Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik
berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt
intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan
berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata
tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata
api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa
kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah
memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit
diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa
perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan
itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu
tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi
oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk
asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan
sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik
diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang
semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen
bangsa.
Akar penyebab konflik
Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang
akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan
misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam
konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial.
Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat
keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi
pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan
kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam
dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen,
dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era
kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938
jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an
persen. [4] Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso
mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan
Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]
Proses pembalikan ini
bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga
komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio
ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi
komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli.
Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat
kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada
tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan
Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim
yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang
memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis
dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat ibadah
di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya
pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas
keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso.
Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari
kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan
birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula
dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai
dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula
didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi
inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam
kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks
persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek
pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik
Poso.
Dari situ tampak sekali
bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat kompleks
melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok
kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari
luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat
keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan
persoalan Poso untuk kepentingan.